Sabtu, 01 Desember 2012

Sentra Produksi Gerabah Tradisional di Desa Jipang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan

Sekitar tahun 2008 penulis berkunjung ke Desa Jipang dalam rangka studi tur sebuah mata kuliah. Desa ini berada di Kecamatan Bontonompo Selatan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Takalar. Di desa ini terdapat sebuah sentra pembuatan gerabah.

Di Jipang ketika itu, gerabah masih dibuat secara sederhana dengan teknik roda putar. Teknik ini adalah salah satu teknik  tradisional yang sudah dipakai sejak jaman prasejarah-neolitikum. Peralatan yang digunakan antara lain meja putar (terbuat dari semen yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai meja bundar berukuran mini) atau perbot, alat cetak, secarik kain kecil, dan batu. Meja putar digunakan untuk membuat gerabah berjenis mangkuk, pot bunga, tungku bundar, dan kendi. Sedangkan alat cetak untuk membuat patung tanah liat.

Ilustrasi: kelincimagetan.wordpress.com

Bahan utama gerabah adalah tanah liat ditambah bahan campuran (temper) seperti pasir, sekam padi, jerami, dan pecahan genteng atau gerabah yang tidak terpakai (grog), dengan perbandingan tertentu sesuai dengan kebutuhan. Ini dimaksudkan untuk mengurangi plastisitas adonan, sehingga mempermudah proses pembentukan serta penghantar panas dalam proses pembakaran. 

Menurut Lukman P, et. al (1984), baik tidaknya kualitas gerabah tergantung dari proses pembentukan gerabah, yaitu dari proses pengolahan bahan, pembentukan gerabah, pengeringan dan pembakaran (Nastiti, 2001: 79). Air juga sangat diperlukan untuk membentuk gerabah dengan baik.  

Kuantitas tanah liat dan lama pembuatan bergantung pada seberapa besar ukuran gerabah yang akan dihasilkan, bentuk dan desainnya. Proses pembakaran dilakukan dengan menggunakan teknik pembakaran terbuka, semi-terbuka, atau tertutup.  Dalam membuat motif hias, teknik yang digunakan umumnya adalah teknik gores dan cungkil. 
Tempat pengerjaan terbagi atas 4, yaitu 1) Tempat mengolah tanah liat sebagai bahan dasar pembuatan gerabah yang letaknya tepat di halaman kecil di samping kiri bengkel gerabah; 2) Bengkel tempat membuat gerabah berupa rumah kecil di samping tempat mengolah tanah dan di belakang tempat menghaluskan gerabah; 3) Tempat menghaluskan gerabah yang telah dikeringkan di halaman depan bengkel; dan, 4) Tempat menjemur dan membakar gerabah berupa halaman luas di samping-depan ke tiga tempat sebelumnya.   

Proses Pembuatan Gerabah
Meskipun gerabah di sini dibuat dengan teknik dan peralatan sederhana, namun proses pembuatannya tidaklah mudah, terutama bagi saya pribadi. Butuh kesabaran, ketelatenan dan keterampilan khusus mengerjakan, mengolah dan membentuk gerabah-gerabah sedemikian rupa hingga menjadi menarik dan layak digunakan. 

Pembuatan gerabah Jipang melalui proses berikut :

Pengambilan tanah liat. Tanah liat yang digunakan sebagai bahan dasar diambil dengan cara menggali langsung di sawah, kemudian dikumpulkan di tempat khusus untuk proses selanjutnya.


Persiapan tanah liat. Tanah liat disiram air hingga basah   merata lalu didiamkan dalam wadah berupa sebuah bak terbuat dari semen berukuran 2 x 1 m selama dua hingga empat hari. Setelah itu, tanah liat ditapis untuk menghasilkan tanah yang lebih halus. Selanjutnya, tanah liat diratakan di atas sejenis plastik yang dibentangkan pada permukaan tanah terbuka, untuk kemudian didiamkan selama 3 - 5 hari jika cuaca memungkinkan agar tanah lebih alot.  

Proses pembentukan. Untuk membentuk tanah liat, pengrajin gerabah pertama-tama memutar roda pemutar dengan salah satu atau kedua tangannya. Ini dimaksudkan untuk mencari titik tengah roda pemutar. Sementara roda terus berputar, tanah liat yang sebelumnya telah dicampur sekam atau pasir dibentuk bulat, dan diletakkan tepat di tengah-tengah roda pemutar. Kemudian, tanah sedikit ditekan dengan telapak tangan hingga agak gepeng. Lalu  dengan menggunakan jari telunjuk yang dilapisi kain basah, bagian tengah tanah liat ditusuk hingga terlihat membentuk ceruk berdiameter kurang lebih 4 - 5 cm. Untuk menghasilkan mulut gerabah yang lebih variatif, digunakan kertas yang dilekatkan pada bagian tertentu dari gerabah hingga menghasilkan bentuk yang diinginkan. Terakhir, penghalusan permukaan gerabah dengan alat sejenis batu pipih berbentuk menyerupai bulan sabit.

Penjemuran. Setelah bentuk akhir telah terbentuk, maka diteruskan dengan penjemuran. Sebelum dijemur di bawah sinar matahari, gerabah yang telah sedikit mengeras dihaluskan dengan air dan kain kecil. Jika dikehendaki, pengrajin akan memberi hiasan atau lukisan pada tahap ini. Setelah itu baru dijemur hingga benar-benar kering. Lamanya waktu penjemuran disesuaikan dengan cuaca dan panas matahari.

Pembakaran. Setelah menjadi keras dan benar-benar kering, gerabah-gerabah dibakar selama beberapa jam hingga benar-benar keras. Proses ini dilakukan agar gerabah tidak mudah pecah.  Bahan bakar yang digunakan dalam pembakaran adalah jerami kering dan kayu bakar (bambu atau ranting pohon) untuk pembakaran terbuka. Adapun untuk pembakaran semi terbuka, gerabah yang telah dikeringkan dimasukkan dalam sebuah media pembakaran.

Penyempurnaan. Pada tahap ini, gerabah dicat dengan cat khusus atau diglasir agar terlihat indah dan menarik sehingga bernilai jual tinggi.

Gerabah sebagai Data Arkeologi
Gerabah dari segi fungsionalnya, terkait dengan aspek propan dan sakral. Dalam aspek propan, fungsi gerabah terkait dengan kegiatan-kegiatan sosial, yaitu sebagai hiasan (pajangan), wadah dan perlengkapan dapur. Adapun dalam aspek sakral, gerabah difungsikan dalam upacara-upacara adat seperti misalnya upacara hamil tujuh bulan, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Dalam kajian-kajian arkeologi, gerabah adalah data yang dapat memberi gambaran aktivitas manusia di masa lampau, perkembangan teknologinya, dan lain sebagainya.

Sebagai sebuah data, gerabah berperan dalam upaya-upaya rekonstruksi sejarah budaya, menggambarkan cara hidup manusia di masa lampau, dan rekonstruksi proses budaya. Gerabah dapat menggambarkan upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup, dengan jalan memanfaatkan dan mengolah sumber yang berasal dari lingkungan di sekelilingnya (Nastiti, 2001: 79). 

Penemuan manusia atas teknologi membuat gerabah di zaman neolitikum menandai adanya sebuah revolusi dari cara berpikir manusia yang sangat sederhana menjadi lebih maju. Gerabah juga dapat menjadi data bagi kajian-kajian arkeologi gender. 

Di Jipang misalnya, menurut Hasyim Dg. Sitti (pengrajin gerabah Jipang, 70 tahun) dulu terdapat pembagian kerja yang teratur antara laki-laki dan perempuan dalam hal pengerjaan gerabah, mulai dari tahap pengolaan tanah hingga pembakaran. Biasanya, pengerjaan yang menuntut penggunaan tenaga besar seperti menggali tanah, mengolah tanah, mengangkat dan memindahkan barang berat (kayu bakar, jerami, gerabah, dan sebagainya) dilakukan oleh pengrajin laki-laki. Sementara perempuan biasanya hanya dibebani dengan pekerjaan ringan dan tidak begitu menguras tenaga seperti membuat, mencelup, menghaluskan, mewarnai, dan lain-lain. Namun, seiring perkembangan zaman maka pembagian kerja ini lambat laun berkurang. Kini, laki-laki dan perempuan bebas melakukan apa saja yang dapat mereka kerjakan selama mereka mau dan bisa. 


Referensi
Nastiti, Ni Komang Ayu. 2001. “Analisis Laboratorium Teknologi Pembuatan Gerabah Situs Gedungkarya, Muara jambi, Propinsi Jambi”. Walennae Vol. IV No. 7 November 2001. Makassar: Balai Arkeologi.

4 komentar:

  1. Bisa minta alamat lengkap nya ini pembuat gerabah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Desa Jipang, Kec. Bontosunggu, Kab. Gowa, masuk perbatasan Kab. Takalar

      Hapus
  2. Tabe' ada nomor teleponx penjual gerabah di jipang kita tau?

    BalasHapus

Postingan Populer