Selasa, 01 Januari 2019

Sejarah Awal Mula Perayaan Maulid Nabi

Kelahiran Nabi Muhammad SAW yang disepakati para sejarawan jatuh pada hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah (570 M) adalah sebuah peristiwa bersejarah bagi umat Islam di seluruh dunia. Setiap tahun pada tanggal kalender hijriah tersebut, disesuaikan dengan kalender Masehi, diperingati sebagai hari perayaan Maulid Nabi. Namun demikian, sampai sekarang masih ada kontroversi mengenai perkara merayakan Maulid Nabi yang dinilai sebagai suatu bid'ah.

Nah, sebetulnya bagaimana asal usul Maulid Nabi? Kapan, dimana, dan bagaimana Maulid Nabi yang paling pertama dirayakan? Kemudian, apa tujuan merayakan Maulid Nabi ini? Apakah benar bid'ah?

Ilustrasi Telur Maulid
Dok. Pribadi

Kata Maulid merupakan serapan bahasa Indonesia dari kata Mawlid (bahasa Arab) yang berarti hari lahir. Setiap daerah di Indonesia menyebut Maulid dengan bahasa yang berbeda-beda, antara lain Molod (Aceh), Maulidar Rasul (Melayu), Muludan (Sunda), Mulud Nabi (Jawa), dan Maudu (Bugis Makassar). 

Tradisi perayaan Maulid Nabi berkembang setelah kematian Rasulullah SAW. Mengenai sejarah awal mula perayaannya ada beberapa pendapat seperti berikut:

Pendapat pertama,
Nuruddin Ali mengisahkan dalam kitab Wafa'ul Wafa bi Akhbar Darul Mustafa, Maulid Nabi pertama kali diinisiasi oleh seorang wanita bernama Khaizuran, istri Khalifah Dinasti Abbasiyah ke-3 di Baghdag bernama Al Mahdi bin Mansur Al Abbas yang memerintah tahun 775-785 M. Pada abad ke-8 M, wanita tersebut memerintahkan penduduk di Kota Mekkah merayakan Maulid Nabi di rumah masing-masing, dan bagi penduduk di Kota Madinah merayakan di Masjid Nabawi. Tujuannya agar warga Arab dapat mengingat ajaran dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.

Pendapat kedua,
Al Hafidz Syamsuddin Al Sakhawi, seorang ulama terkemuka, menyebutkan perayaan Maulid Nabi pertama kali dirayakan oleh Khalifah Dinasti Fathimiyya di Mesir bernama Mu'iz li Dinillah yang berkuasa 832-975 M.

Pendapat ketiga,
Perintah Maulid Nabi pertama kali disampaikan oleh Sultan Salahuddin Al Ayyubi pada musim Haji tahun 1183 M (579 H). Saat itu umat Islam mengalami kekalahan dalam Perang Salib. Maka, untuk membangkitkan kembali semangat juang umat, Salahuddin mengimbau seluruh jamaah haji seluruh dunia agar mensosialisasikan perayaan Maulid Nabi ketika kembali ke daerah asal masing-masing.

Selain untuk membangkitkan semangat, perayaan maulid juga sebagai tanda cinta kepada Rasulullah. Salahuddin menegaskan, perayaan maulid tidak termasuk bid'ah karena hanya berupa kegiatan yang ditujukan untuk meramaikan syiar agama dan tidak bersifat ritual. 

Dalam peringatan Maulid Nabi yang pertama di tahun 1184 M, diadakan sayembara penulisan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW beserta puji-pujian dengan bahasa seindah-indahnya. Semua ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi itu. Sayembara dimenangkan oleh Syaikh Ja'far Al-Barzanji yang karyanya dikenal sebagai Kitab Barzanji, sebuah karya sastra berisi riwayat kehidupan Nabi Muhammad sejak lahir sampai menjadi rasul, sifat-sifat mulia Nabi, dan berbagai peristiwa yang dapat dijadikan teladan.

Kitab Barzanji (Barasanji di Sulsel, Rawi di Jakarta) inilah yang sampai kini biasa dibacakan dengan cara dilagukan dalam perayaan Maulid Nabi di berbagai daerah di Indonesia. Pembacaan Barzanji  umumnya disertai dengan sholawat nabi, zikir bersama, pembacaan ayat Al Quran, ceramah agama, dan tradisi berbagi makanan. Melalui pembacaan kitab ini diharapkan dapat semakin menambah rasa cinta kepada Rasulullah dan mendapatkan hikmah dari peristiwa kelahiran juga perjuangannya menyebarkan agama Islam.

Di Indonesia, Maulid Nabi pada awalnya digunakan oleh para wali sebagai media syiar Islam, dengan memasukkan unsur Islam ke dalam tradisi asli nusantara. Lambat laun, Maulid akhirnya melekat dalam kehidupan masyarakat sebagai salah satu hari raya Islam yang dirayakan sekali setiap tahun. Setiap daerah memiliki bentuk perayaan berbeda sesuai tradisinya masing-masing, seperti Sekaten dan Grebeg Maulud (Yogyakarta), Maudu Lompoa (Makassar), Angka'an Bherkat Molod (Gresik), Walima (Gorontalo), Kuah Beulangong (Aceh), Ampyang (Kudus), dan sebagainya.

Ulama-ulama NU memandang perayaan Maulid Nabi sebagai bid'ah hasanah atau bid'ah baik yang diperbolehkan dalam syariat Islam. Lagipula, sebetulnya kalau ditelaah lebih jauh di dalam perayaan Maulid Nabi mengandung nilai-nilai kebersamaan, cinta kasih, dan berbagi kepada sesama yang sangat dianjurkan dalam ajaran agama Islam. Coba saja perhatikan tradisi-tradisi perayaan Maulid di seluruh daerah nusantara, yang pada intinya adalah membuat makanan bersama-sama dengan beragam jenis dan bentuknya, untuk kemudian dimakan bersama atau dibagikan kepada masyarakat sekitar. 

Diolah dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer