Jumat, 28 Februari 2014

Kama Karma Kurma

Ash-shalaatu khairum-minan-nauum.
Sesungguhnya sholat itu lebih baik daripada tidur.

Terdengar dari kejauhan. Gaungnya merambat masuk menembus dinding bata kamar kosku. Sedang hujan yang sejak tadi malam mengucur belum juga reda. Malahan bertambah deras. Mungkin karena tidak berplafon, maka dinginnya bayu terasa sekali. Mungkin juga lantaran kesepian yang kurasa makin menjadi.

Segera ku meloncat ke wc, lantas berwudhu. Grrr. Dingin. Ah, tidak mengapa. Asal Tuhan tidak meninggalkanku. Lucu kukira. Sebab kutemui Ia saat ku kalut dan takut saja.

Selesai sembahyang Subuh, kujatuhkan tubuhku ke atas sajadah. Mukenah masih kupakai. Oh Tuhan! Baru lima hari. Lama sekali satu minggu itu. Lebih-lebih satu bulan. Saya takut. Tetap takut. Inikah yang disebut sebagai karma?

Tumbal karma. Ya. Boleh dibilang begitu. Akibat terlalu ramah. Buah murah senyum. Tersesat dalam nihilistik, kekosongan. Bahwa sesungguhnya saya telah mengalami kematian dalam segala hal. Pencarian akan arti kebebasanlah yang belakangan justru merantai ruang hidupku.

Teringat yang telah kuperbuat.

Ah, untuk apa menyesali? Toh semua sudah terlanjur.

“Saya akan bertanggung jawab, sayang!”, wajahmu manis seperti anak kucing ibu kosku merayu. Erat, kau selipkan jemarimu di antara jemariku.

“Jangan takut! Saya tidak akan lari”, meyakinkannya ucapanmu. Pelan-pelan, kau lekatkan bibirmu di atas bibirku.

Dalam keadaan seperti waktu itu, saya tidak tahu, apakah Tuhan yang sedang berperan ataukah setan yang menggoda. Dan terjadilah. Kun Fayakun. Kau-saya makan buah khuldi. Bersama kita dilempar ke surga dunia. Tidak ada lagi batasan. Semua aturan, norma, hukum, adat, sama tidak berlaku. Tuhan mengutuk kita. Setan memberi kita hadiah. Bisa juga kebalikannya.

Buah khuldi yang kita makan, sayang!

Bolehkah ia kusebut serupa biji kurma? Penjelmaan lingga dan yoni dalam satu badan. Yang daging buahnya begitu manis. Yang seratnya terlampau lembut. Lantas menghasut kita kian berhasrat mencicipi. Lagi, lagi dan lagi.

Mmn, nikmatnya tanpa tanding!

Bila saja kita mencicipi buah yang masak pohon, bukan hasil karbit, tentu rasanya akan lebih nikmat. Apa boleh buat. Nasi sudah terlanjur jadi bubur.
#

Air-air berjatuhan satu-satu menimpa muka tanah. Sedang tubuh kurusku duduk di bawah atap halte depan Carrefour. Kutatapi agak lama butiran hujan. Baru juga harapan muncul untuk pulang, hujan menderas lagi serampangan. Lebih lama dari hujan sebelumnya pula. Di sekelilingku, aneka warna manusia sibuk dengan dunianya masing-masing.

Saya terpana dengan tingkah dua bocah. Mungkin yang perempuan 5 tahun, sedang yang laki-laki 8 tahun. Sepertinya bersaudara. Toh, meski beda jenis kelamin, sketsa wajah mereka ada kemiripan sedikit.
Ah, alangkah bahagianya menjadi bocah. Bebas. Bebasnya bocah adalah berkah alam. Mati ketika masih bocah identik dengan matinya bidadari. Hidupnya bocah? Bisa surga bisa neraka.

Bocah-bocah yang kulihat tadi lari-lari seperti mengejar hujan yang makin deras. Tidak peduli helai-helai benang di tubuh mereka basah. Acuh dengan teriakan ibu yang cemas dari bilik kios. Mereka tetap lari-lari, tertawa, lalu berhenti di tepi kali, menitipkan daun mangga yang kuning kepada aliran air, mengikuti kemana perginya daun mangga itu, dan berakhir dengan rajuk cengeng bocah perempuan yang berlari ke pelukan ibunya. Namanya bocah. Tidak imun konflik. Masalah kecil gampang jadi besar. Sebentar saja, tangisnya sudah mereda dan seperti tidak pernah ada pertengkaran, keduanya bermain lagi di bawah tenda.

Sederhana sekali hidup itu bagi mereka. Pada kesederhanaan itulah kukira terletak kebahagiaan mereka.

Jauh. Di kedalaman lapisan ke-tiga rahimku, sedang tertidur nyenyak bakal bocah. Entah perempuan atau laki-laki. Bisa juga dua-duanya. Kalau tidak ada halangan, 2 bulan lagi ia akan meluncur keluar di selangkanganku. Anakku malang. Ku elus perut buncitku. Berharap ia tidak kurang kasih sayang.

Hujan sudah pergi. Dua bocah yang kuceritakan bergegas. Kios ibunya rapat terkunci. Bocah perempuan duduk di antara ibu dan ayahnya (mungkin). Bocah laki-laki dengan berani duduk di depan ayahnya. Di atas bebek Honda Supra XX warna hitam campur hijau.

Pemandangan klise yang kupikir mustahil ada dihidupku. Betapa kenyataan itu memenuhi rongga dadaku dengan udara. Terasa sesak mencekik.

Anakku akan lahir tanpa bapak. Begitu ia menghirup udara di bumi untuk pertama kali, bukanlah bapaknya yang akan mengadzani kuping kanannya. Kalau lidahnya sudah pandai bersilat, ia mungkin akan menanyakan, “Bu, teman-temanku punya bapak. Kenapa saya tidak? Siapa bapakku, Bu? Dimana ia?”.

Pertanyaannya itu nantinya akan kujawab dengan, “Bapakmu sudah mati sebelum kau lahir, nak! Ia mati karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu”.

Nyatanya, orang yang ditanyakannya tidak kutahui dimana sekarang? Masih di Indonesiakah? Laki-laki bajingan, ah, bukan. Salah. Sampai hari ini, hatiku masih menginginkannya. Sebuah penghianatan besar jika kukatai ia bajingan, sedang pernah kunikmati anu bersamanya. Maksudku, laki-laki yang harusnya bertanggung jawab atas orok di perutku sudah pergi, menghilang, lari dari kenyataan. Ia pergi. Tanpa jejak.

---Susah payah kutahan tangisku.

Sebuah mikrolet berhenti di depanku. Dari kursi kemudi bapak sopir teriak, “Cendrawasih!”

“Dangkot, Pak!”

“Iek. Naik saja, Bu!”

Mikrolet laju. Bersama bakal bayiku, kududuk di belakang. Memandang pendar-pendar neon dari kacanya. Dan tangis yang tadi kutahan akhirnya jatuh. Kuelus perutku lembut.
#

Saban hari. Kuingat. Menyisir dan mengutuiku, ibuku cerita.

“Bapakmu bukannya tidak punya hati. Dia paham betul bagaimana itu pacaran. Sebab pengalamannya jauh melampaui yang kau jalani sekarang dengan siapa itu namanya?”

“Jamal, Bu”

“Iya. Jamal. Bapak kau hanya terlalu sayang sama kau. Ia tidak mau, kau dimaini laki-laki. Sebab menurutnya, seorang laki-laki jika betul dan sungguh-sungguh mencintai seorang perempuan, haram baginya menyentuh perempuan yang dicintainya sedikitpun. Dan itulah yang ditunjukkan bapakmu kepada ibu.”

“Tapi, Bu. Cara orang mencintai kan berbeda satu dengan yang lain?!.”

“Entahlah, Nak! Mungkin ucapanmu ada benarnya. Tetapi ibu setuju dengan bapakmu. Dulu kami tidak pernah berpacaran. Kami hanya sesekali bertemu. Kadang-kadang di pasar, di pesta pernikahan kerabat, atau berpapasan di jalan. Ibu tahu, bapakmu dulu punya banyak pacar. Pada akhirnya, bapakmu justru melamar ibu. Ibu juga heran mengapa. Bapakmu hanya bilang, sejak pertama kali melihat ibu di pasar, bapak sudah suka sama ibu. Dan sejak itu, bapakmu tidak pernah berhenti mengingat ibu.”

“Lalu bagaimana dengan mantan-mantannya Bapak?”

“Sebagian mereka kabarnya juga sudah menikah. Yang lain ibu tidak tahu, nak!”

“Kasihan mereka. Pasti mereka sangat sedih dan kecewa.”
#

“Kiri depan ya, pak!”

Kusetor 3 lembar uang seribuan. Lantas berlalu. Segera menghampiri rumah kontrakanku. Sebuah rumah kecil type 27 di belakang Rumah Sakit Haji. Memutar kunci, membuka daun pintu dari tripleks dicat cokelat yang sudah mulai pudar.

Sendiri, kubaringkan tubuhku hati-hati di atas kasur busa yang geletak di lantai semen. Laun, mulai bermunculan rasa sesal. Pikirku, kalau saja betul ada mesin waktu. Tentunya, sudah kujelajahi ruang tanpa dimensi itu, mendatangi masa lalu. Sebelum semua kesalahan itu kubuat. Kuingat semua ucapan ibuku dulu. Hhh, bodohnya diriku.

---Mamak, Bapak, saya rindu!
---Jamal, saya butuh kau sekarang.

Airmataku menetes lagi. Kukatup mata. Berusaha tidur. Masih ada besok untukku. Dalam hati kuberdo’a, ‘Tuhan, cukuplah karma ini saya yang menebus. Jangan anakku, apalagi cucuku. Amin!’.

Makassar, Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer