Ash-shalaatu khairum-minan-nauum.
Sesungguhnya sholat itu lebih baik daripada tidur.
Terdengar dari kejauhan. Gaungnya merambat masuk menembus dinding bata
kamar kosku. Sedang hujan yang sejak tadi malam mengucur belum juga
reda. Malahan bertambah deras. Mungkin karena tidak berplafon, maka
dinginnya bayu terasa sekali. Mungkin juga lantaran kesepian yang kurasa
makin menjadi.
Segera ku meloncat ke wc, lantas berwudhu. Grrr.
Dingin. Ah, tidak mengapa. Asal Tuhan tidak meninggalkanku. Lucu kukira.
Sebab kutemui Ia saat ku kalut dan takut saja.
Selesai sembahyang
Subuh, kujatuhkan tubuhku ke atas sajadah. Mukenah masih kupakai. Oh
Tuhan! Baru lima hari. Lama sekali satu minggu itu. Lebih-lebih satu
bulan. Saya takut. Tetap takut. Inikah yang disebut sebagai karma?
Tumbal karma. Ya. Boleh dibilang begitu. Akibat terlalu ramah. Buah
murah senyum. Tersesat dalam nihilistik, kekosongan. Bahwa sesungguhnya
saya telah mengalami kematian dalam segala hal. Pencarian akan arti
kebebasanlah yang belakangan justru merantai ruang hidupku.
Sumber: detikFood-detikcom |
Teringat yang telah kuperbuat.
“Saya akan bertanggung jawab, sayang!”, wajahmu manis seperti anak
kucing ibu kosku merayu. Erat, kau selipkan jemarimu di antara jemariku.
“Jangan takut! Saya tidak akan lari”, meyakinkannya ucapanmu. Pelan-pelan, kau lekatkan bibirmu di atas bibirku.
Dalam keadaan seperti waktu itu, saya tidak tahu, apakah Tuhan yang
sedang berperan ataukah setan yang menggoda. Dan terjadilah. Kun
Fayakun. Kau-saya makan buah khuldi. Bersama kita dilempar ke surga
dunia. Tidak ada lagi batasan. Semua aturan, norma, hukum, adat, sama
tidak berlaku. Tuhan mengutuk kita. Setan memberi kita hadiah. Bisa
juga kebalikannya.
Buah khuldi yang kita makan, sayang!
Bolehkah
ia kusebut serupa biji kurma? Penjelmaan lingga dan yoni dalam satu
badan. Yang daging buahnya begitu manis. Yang seratnya terlampau lembut.
Lantas menghasut kita kian berhasrat mencicipi. Lagi, lagi dan lagi.
Mmn, nikmatnya tanpa tanding!
Bila saja kita mencicipi buah yang masak pohon, bukan hasil karbit,
tentu rasanya akan lebih nikmat. Apa boleh buat. Nasi sudah terlanjur
jadi bubur.
#
Air-air berjatuhan satu-satu menimpa muka tanah.
Sedang tubuh kurusku duduk di bawah atap halte depan Carrefour. Kutatapi
agak lama butiran hujan. Baru juga harapan muncul untuk pulang, hujan
menderas lagi serampangan. Lebih lama dari hujan sebelumnya pula. Di
sekelilingku, aneka warna manusia sibuk dengan dunianya masing-masing.
Saya terpana dengan tingkah dua bocah. Mungkin yang perempuan 5 tahun,
sedang yang laki-laki 8 tahun. Sepertinya bersaudara. Toh, meski beda
jenis kelamin, sketsa wajah mereka ada kemiripan sedikit.
Ah,
alangkah bahagianya menjadi bocah. Bebas. Bebasnya bocah adalah berkah
alam. Mati ketika masih bocah identik dengan matinya bidadari. Hidupnya
bocah? Bisa surga bisa neraka.
Bocah-bocah yang kulihat tadi
lari-lari seperti mengejar hujan yang makin deras. Tidak peduli
helai-helai benang di tubuh mereka basah. Acuh dengan teriakan ibu yang
cemas dari bilik kios. Mereka tetap lari-lari, tertawa, lalu berhenti di
tepi kali, menitipkan daun mangga yang kuning kepada aliran air,
mengikuti kemana perginya daun mangga itu, dan berakhir dengan rajuk
cengeng bocah perempuan yang berlari ke pelukan ibunya. Namanya bocah.
Tidak imun konflik. Masalah kecil gampang jadi besar. Sebentar saja,
tangisnya sudah mereda dan seperti tidak pernah ada pertengkaran,
keduanya bermain lagi di bawah tenda.
Sederhana sekali hidup itu bagi mereka. Pada kesederhanaan itulah kukira terletak kebahagiaan mereka.
Jauh. Di kedalaman lapisan ke-tiga rahimku, sedang tertidur nyenyak
bakal bocah. Entah perempuan atau laki-laki. Bisa juga dua-duanya.
Kalau tidak ada halangan, 2 bulan lagi ia akan meluncur keluar di
selangkanganku. Anakku malang. Ku elus perut buncitku. Berharap ia tidak
kurang kasih sayang.
Hujan sudah pergi. Dua
bocah yang kuceritakan bergegas. Kios ibunya rapat terkunci. Bocah
perempuan duduk di antara ibu dan ayahnya (mungkin). Bocah laki-laki
dengan berani duduk di depan ayahnya. Di atas bebek Honda Supra XX warna
hitam campur hijau.
Pemandangan klise yang kupikir mustahil ada
dihidupku. Betapa kenyataan itu memenuhi rongga dadaku dengan udara.
Terasa sesak mencekik.
Anakku akan lahir tanpa bapak. Begitu ia
menghirup udara di bumi untuk pertama kali, bukanlah bapaknya yang akan
mengadzani kuping kanannya. Kalau lidahnya sudah pandai bersilat, ia
mungkin akan menanyakan, “Bu, teman-temanku punya bapak. Kenapa saya
tidak? Siapa bapakku, Bu? Dimana ia?”.
Pertanyaannya itu nantinya akan
kujawab dengan, “Bapakmu sudah mati sebelum kau lahir, nak! Ia mati
karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu”.
Nyatanya, orang yang
ditanyakannya tidak kutahui dimana sekarang? Masih di Indonesiakah?
Laki-laki bajingan, ah, bukan. Salah. Sampai hari ini, hatiku masih
menginginkannya. Sebuah penghianatan besar jika kukatai ia bajingan,
sedang pernah kunikmati anu bersamanya. Maksudku, laki-laki yang
harusnya bertanggung jawab atas orok di perutku sudah pergi, menghilang,
lari dari kenyataan. Ia pergi. Tanpa jejak.
---Susah payah kutahan tangisku.
Sebuah mikrolet berhenti di depanku. Dari kursi kemudi bapak sopir teriak, “Cendrawasih!”
“Dangkot, Pak!”
“Iek. Naik saja, Bu!”
Mikrolet laju. Bersama bakal bayiku, kududuk di belakang. Memandang
pendar-pendar neon dari kacanya. Dan tangis yang tadi kutahan akhirnya
jatuh. Kuelus perutku lembut.
#
Saban hari. Kuingat. Menyisir dan mengutuiku, ibuku cerita.
“Bapakmu bukannya tidak punya hati. Dia paham betul bagaimana itu
pacaran. Sebab pengalamannya jauh melampaui yang kau jalani sekarang
dengan siapa itu namanya?”
“Jamal, Bu”
“Iya. Jamal. Bapak kau
hanya terlalu sayang sama kau. Ia tidak mau, kau dimaini laki-laki.
Sebab menurutnya, seorang laki-laki jika betul dan sungguh-sungguh
mencintai seorang perempuan, haram baginya menyentuh perempuan yang
dicintainya sedikitpun. Dan itulah yang ditunjukkan bapakmu kepada ibu.”
“Tapi, Bu. Cara orang mencintai kan berbeda satu dengan yang lain?!.”
“Entahlah, Nak! Mungkin ucapanmu ada benarnya. Tetapi ibu setuju dengan
bapakmu. Dulu kami tidak pernah berpacaran. Kami hanya sesekali
bertemu. Kadang-kadang di pasar, di pesta pernikahan kerabat, atau
berpapasan di jalan. Ibu tahu, bapakmu dulu punya banyak pacar. Pada
akhirnya, bapakmu justru melamar ibu. Ibu juga heran mengapa. Bapakmu
hanya bilang, sejak pertama kali melihat ibu di pasar, bapak sudah suka
sama ibu. Dan sejak itu, bapakmu tidak pernah berhenti mengingat ibu.”
“Lalu bagaimana dengan mantan-mantannya Bapak?”
“Sebagian mereka kabarnya juga sudah menikah. Yang lain ibu tidak tahu, nak!”
“Kasihan mereka. Pasti mereka sangat sedih dan kecewa.”
#
“Kiri depan ya, pak!”
Kusetor 3 lembar uang seribuan. Lantas berlalu. Segera menghampiri
rumah kontrakanku. Sebuah rumah kecil type 27 di belakang Rumah Sakit
Haji. Memutar kunci, membuka daun pintu dari tripleks dicat cokelat yang
sudah mulai pudar.
Sendiri, kubaringkan tubuhku hati-hati di atas
kasur busa yang geletak di lantai semen. Laun, mulai bermunculan rasa
sesal. Pikirku, kalau saja betul ada mesin waktu. Tentunya, sudah
kujelajahi ruang tanpa dimensi itu, mendatangi masa lalu. Sebelum semua
kesalahan itu kubuat. Kuingat semua ucapan ibuku dulu. Hhh, bodohnya
diriku.
---Mamak, Bapak, saya rindu!
---Jamal, saya butuh kau sekarang.
Airmataku menetes lagi. Kukatup mata. Berusaha tidur. Masih ada besok
untukku. Dalam hati kuberdo’a, ‘Tuhan, cukuplah karma ini saya yang
menebus. Jangan anakku, apalagi cucuku. Amin!’.
Makassar, Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar