Rabu, 13 Oktober 2010

Perkembangan Sinetron dan Pengaruhnya

Televisi dalam beberapa kasus dipersepsikan sudah mengkudeta fungsi institusi sosial tradisional seperti keluarga dan sekolah. Robert N. Bellah (1967) mengatakan, media sudah menjadi sejenis agama sipil kontemporer yang melibatkan bentuk-bentuk pemujaan baru lewat ritual-ritual menonton dan mengkonsumsi media. Televisi seolah punya mata dimana-mana untuk dapat mengamati psikologi massa, untuk kemudian mengemudikannya kepada sebuah kebutuhan dan keinginan yang sebenarnya tidak begitu diperlukan. 

Televisi adalah media elektronik yang dapat menayangkan berbagai macam acara hiburan dan berita-berita secara visual, dan dapat diakses dengan mudah di berbagai tempat. Televisipun telah mengalami perkembangan seiring waktu. Jika di awal kemunculannya benda ini hanya dapat dimiliki oleh orang-orang kelas menengah atas, maka kini televisi telah menjadi benda yang dapat dimiliki hampir semua orang dari berbagai kelas sosial. 

Mengapa kehadiran televisi kian menjadi suatu kebutuhan? Barangkali karena televisi adalah sarana hiburan paling dekat dan mudah diakses. Dengan hanya bermodal sambungan listrik, sekali tekan tombol power, orang sudah bisa mendapatkan banyak hiburan, mulai dari reality show, sinetron, berita, konser, lawakan, dan lain sebagainya.

Nah, fokus ke sinetron. Ada apa dengan sinetron? Tidak ada apa-apa. Saya sendiripun tidak memungkiri telah menjadi salah seorang penikmat drama televisi seperti sinetron. Hanya menarik saja mungkin sedikit membahas perkembangan dan pengaruhnya. 

Kehadiran sinetron dimulai pada era Orde Baru sebagai proyek katalisasi terhadap buming film-film yang cenderung lebih banyak menampilkan adegan sensual. Sebut saja drama serial “Losmen” di TVRI tahun 80-an, meskipun istilahnya baru dipelorkan pada tahun 1989. Menyusul “Si Doel Anak Sekolahan” pada tahun 90-an yang sangat buming dimasanya. 

Tahun 90-an, produksi sinetron berkembang dari sinetron yang diadaptasi dari film-film 80-an seperti lupus dan catatan si boy (1995), hingga sinetron yang diadaptasi dari novel-novel laris seperti karmila (1998). Tahun 2000 merupakan puncak bagi dunia sinetron Indonesia, dimana tema sinetron menjadi lebih beragam, mulai dari horor hingga kehidupan masyarakat ibukota.

Karena merupakan generasi 90-an, tentu saja saya menjadi salah satu penonton sinetron-sinetron tahun 90-an dan awal tahun 2000-an. Sebagai penonton, dapat saya katakan sinetron-sinetron di masa itu sangat berbeda dengan sinetron-sinetron sekarang ini. Bukan hanya pemeran yang berganti, namun juga kualitas gambar dan suara. Tetapi perbedaan utama yang perlu mendapat perhatian adalah kualitas cerita, isi, dan pesan-pesan moral di dalamnya. 

Pada akhirnya, saya hanya ingin menyampaikan, menonton televisi bukanlah larangan. Namun, pandai-pandailah memilih tontonan. Apalagi jika ada anak yang senang menonton televisi agar didampingi dan diawasi. Karena tidak dapat dipungkiri beberapa tayangan televisi bisa memberi pengaruh negatif. Misalnya pada adegan-adegan yang menampilkan kekerasan atau gaya hidup berlebih-lebihan. Meskipun ada juga yang memberi pengaruh positif, seperti inspirasi berwirausaha, dan lain sebagainya.

Postingan Populer