Tutur Tinular adalah bahasa Jawa bermakna 'petuah yang disebarluaskan', judul sebuah serial sandiwara radio lawas legendaris karya penulis S. Tidjab yang sangat populer pada tahun 1989 setelah Saur Sepuh. Serial Tutur Tinular seluruhnya ada 24 episode dan 720 seri. Sandiwara ini disiarkan oleh lebih dari 500 stasiun radio swasta di seluruh Indonesia. Bahkan hingga tahun 2012, Tutur Tinular masih disiarkan kembali beberapa stasiun radio dan beberapa situs radio online.
Karena kepopulerannya, sandiwara ini kemudian diangkat ke film layar lebar dengan beberapa sequel, yaitu Pedang Naga Puspa tahun 1989, Naga Puspa Kresna tahun 1991, Pendekar Syair Berdarah tahun 1992, dan Mendung Berguling di Atas Majapahit tahun 1992.
Ilustrasi: Wikipedia |
Sandiwara Tutur Tinular mengisahkan kehidupan percintaan Arya Kamandanu dan petualangannya sebagai seorang pendekar pilih tanding yang di kemudian hari menjadi panglima Kerajaan Majapahit. Tokoh fiktif ini menguasai sebuah pedang dan jurus bernama naga puspa. Kehidupan percintaannya diwarnai oleh kehadiran 3 wanita yaitu, seorang gadis desa lugu bernama Nari Ratih, seorang pelarian dari Tiongkok bernama Mei Shin, dan seorang pendekar wanita yang dikenal dengan jurus lengan seribu bernama Sakawuni, dengan berbagai macam konfliknya. Dikisahkan juga perjalanan hidup Kamandanu sejak belajar ilmu kanuragan tingkat awal hingga menemukan pedang nagapuspa dan menjadi pendekar sakti yang seringkali terlibat pertarungan dengan pendekar sakti lainnya.
Tutur Tinular bukan hanya sekedar kisah asmara dan petualangan, tetapi juga berisi cerita sejarah keruntuhan Kerajaan Singhasari di bawah kekuasaan Prabu Krtanagara dan awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit oleh Raden Wijaya. Berbagai peristiwa seperti kedatangan utusan Kaisar Kubilai Khan dari Mongolia ke Jawa, pemberontakan Prabu Jayakatwang yang menyebabkan terbunuhnya Prabu Kertanagara bersama dengan runtuhnya Kerajaan Singhasari, pemindahan kekuasaan ke Kediri, serangan balasan dari Raden Wijaya dan terbunuhnya Prabu Jayakatwang dibantu oleh tentara Mongolia, pengusiran tentara Mongolia, berdirinya Kerajaan Majapahit dan pengangkatan Raden Wijaya menjadi raja I bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana, serta pemberontakan Ranggalawe, Lembu Sora, dan Gajah Biru, juga diceritakan.
Cerita berakhir dengan meninggalnya Raden Wijaya dan kemunculan Gajah Mada secara tiba-tiba. Arya Kamandanu mengundurkan diri sebagai panglima dan meninggalkan Kerajaan Majapahit bersama anaknya.
Di tengah perubahan zaman, Tutur Tinular seakan tak bergeming dengan banyaknya sinetron bermunculan. Sandiwara ini tetap diminati sehingga diadaptasi menjadi Sinema Televisi yang telah dibuat dalam beberapa versi.
Versi pertama dibuat tahun 1996 oleh rumah produksi Genta Buana Pitaloka dengan 2 season. Season 1 ditayangkan di ANTV (1996-1997) mengisahkan kehidupan awal Arya Kamandanu hingga Raden Wijaya berhasil mendirikan Kerajaan Majapahit dan menjadi Raja I. Season 2 ditayangkan di Indosiar (1998-1999) menonjolkan cerita pemberontakan Ranggalawe hingga Rakuti saat Prabu Jayanegara sebagai Raja II Majapahit berkuasa, yang diadaptasi dari sandiwara radio Mahkota Mayangkara, sequel sandiwara radio Tutur Tinular. Drama Tutur Tinular versi ini menjadi salah satu sinetron yang sangat diminati di era 90an, dan masih sering diputar kembali di stasiun televisi swasta sampai sekarang. Penggarapan sinetron, mulai dari setting tempat, alur cerita, adegan, akting, visual, hingga kostum, memang patut mendapat apresiasi. Tak heran jika sinetron mendapat Penghargaan Khusus Festival Film Bandung untuk Sinetron tahun 1998.
Versi kedua dibuat tahun 2011 oleh rumah produksi Buana Paramita dan ditayangkan oleh Indosiar sampai tahun 2012. Pada versi ini, kisah Tutur Tinular telah dikembangkan, namun agak disayangkan karena melenceng jauh dari cerita asli. Banyak kritik di berbagai media sosial atas jalan cerita yang berubah dan penambahan karakter yang terkesan konyol. Tutur Tinular versi ini lebih menonjolkan konflik keluarga dan percintaan dibanding unsur sejarah. Latar waktu tidak jelas dan tokoh-tokoh sejarah yang ada di cerita asli dihilangkan. Malahan beberapa karakter dari sinema lain dimunculkan seperti Mak Lampir, Gerandong, Little Krisna, Buto Ijo, Wiro Sableng, bahkan Wong Fei Hung. Selain itu, audio visual yang menonjolkan musik dangdut dan kostum bernuansa India dirasa kurang sesuai untuk drama yang seharusnya menonjolkan budaya asli Jawa di era Majapahit ini. Adegan-adegan pertarungan antar pendekar sakti dengan ajian-ajian andalannya juga terasa kurang menggigit.
Versi ketiga dibuat tahun 2015 oleh rumah produksi Amanah Surga Productions bekerjasama dengan Dini Insan Film. Versi ini ditayangkan di SCTV dan mengangkat judul Pedang Naga Puspa. Sebagaimana judulnya, Tutur Tinular versi ini mengadaptasi film layar lebar tahun 1989.
Tahun 2021, MNCTV (dulu TPI) kembali menayangkan Tutur Tinular dalam versi baru yang didukung teknologi mutakhir, setelah sebelumnya menayangkan versi Film Televisinya di tahun 2010.
Selain diangkat ke layar lebar dan televisi, Tutur Tinular juga telah dituliskan menjadi sebuah buku novel oleh S. Tidjab bersama Buanergis Muryono. Novel Tutur Tinular yang diterbitkan penerbit Kompas pada tahun 2001, terdiri atas 4 edisi yaitu: 1) Pelangi di Atas Kurawan, 2) Cinta yang Terkoyak, 3) Nurani yang Tercabik, dan 4) Lembah Berkabut.
Tutur Tinular merupakan salah satu karya terbaik negeri ini yang terbukti mampu menembus hampir semua media entertain, mulai dari radio, layar lebar, layar televisi, hingga buku. Karya yang menggabungkan antara fiksi dan sejarah ini bahkan mampu melintasi dimensi waktu dan tetap diminati. Dikutip dari avepress.com, Tutur Tinular menyiratkan pesan,
Di dalam sebuah pemerintahan kerajaan, keberadaan seorang raja dianggap sebagai titisan sang Batara Wisnu. Perkataannya adalah sabda yang wajib ditaati. Nyawa bukanlah hal utama, tetapi titah dan sabda seorang raja serta harga diri kerajaan adalah yang pertama. Runtuhnya sebuah kerajaan disebabkan oleh dua hal yaitu kepercayaan terhadap kutukan dan orang yang haus kekuasaan.
Demikian dan semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar